Ø Pengertian Pers
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pers adalah usaha percetakan
dan penerbitan usaha pengumpulan dan penyiaran berita melalui surat kabar,
majalah dan radio, orang yang bergerak dalam penyiaran berita, medium penyiaran
berita, seperti surat kabar, majalah, radio, televisi atau film.
Pers (press) atau jurnalisme
adalah proses pengumpulan, evaluasi dan distribusi berita kepada public.
Sedangkan Kantor Berita adalah perusahaan pers yang melayani media cetak, media
elektronik atau media lainnya serta masyarakat umum dalam memperoleh informasi.
Dalam perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam
pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Dalam pengertian luas, pers
mencakup semua media komunikasi massa, seperti radio, televisi, dan film yang
berfungsi memancarkan/ menyebarkan informasi, berita, gagasan, pikiran, atau
perasaan seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain. Maka dikenal adanya
istilah jurnalistik radio, jurnalistik televisi, jurnalistik pers. Dalam
pengertian sempit, pers hanya digolongkan produk-produk penerbitan yang
melewati proses percetakan, seperti surat kabar harian, majalah mingguan,
majalah tengah bulanan dan sebagainya yang dikenal sebagai media cetak.
Pers mempunyai dua sisi kedudukan,
yaitu: pertama ia merupakan medium komunikasi yang tertua di dunia, dan kedua,
pers sebagai lembaga masyarakat atau institusi sosial merupakan bagian integral
dari masyarakat, dan bukan merupakan unsur yang asing dan terpisah daripadanya.
Dan sebagai lembaga masyarakat ia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
lembaga-lembaga masyarakat lainnya.
Pers sebagai Medium Komunikasi
Ditinjau dari kerangka proses komunikasi, pers tidak lain adalah medium
(perantara) atau saluran (channel) bagi pernyataan-pernyataan yang oleh
penyampainya ditujukan kepada penerima yaitu khalayak. Dalam proses komunikasi
melalui media terdapat 5 unsur atau komponen yang terlibat, yaitu (1)
penyampai, (2) pesan, (3) saluran, (4) penerima, (5) efek . Pers hanya sebagai saluran bagi pernyataan
umum. Yang bertindak sebagai penyampai bukan individu biasa seperti yang
terdapat dalam komunikasi tatap muka, melainkan individu yang bekerja pada
surat kabar, majalah, studio radio, televisi, dan sebagainya. Dalam penyampaian
pernyataan tersebut ia tidak bertindak sebagai individu biasa, melainkan
sebagai bagian atau mewakili media massa. Jadi ia sendiri tidak menampilkan
atau mencantumkan namanya, seperti
lazimnya dalam media massa. Ia adalah orang yang anonym.
Wilbur Schramm menyebutnya sebagai
institutionalized person. Sekalipun harus diakui bahwa tidak semua individu
bekerja secara anonim, sebab ada juga orang yang bekerja pada persuratkabaran
secara terang-terangan, misalnya seorang kolumnis. Ia adalah orang yang secara
periodik dengan menyebutkan atau menuliskan namanya dalam penyelenggaraan suatu
rubrik tertentu. Seorang kolumnis dapat juga digolongkan sebagai opinion leader
atau pembentuk pendapat umum. Karena namanya sudah merupakan jaminan bagi mutu
tulisannya, dan tulisan itu dijadikan pedoman bagi pembaca-pembacanya yang
setia. Bahkan pengaruh seorang kolumnis kadang-kadang sampai sedemikian
besarnya, sehingga sebagai perseorangan ia mampu mempengaruhi kebijaksanaan
politik pemerintahnya.
Ø Asas pers
a. Asas
Demokrasi
ð Pers
harus memegang prinsip demokrasi, yaitu dengan menjunjung tinggi nilai
demokrasi dengan menghormati dan menjamin adanya hak asasi manusia dan
menjunjung tinggi kemerdekaan dalam penyampaian pikiran/pendapatnya, baik
secara lisan maupun tulisan.
b.
Asas
Keadilan
ð
Dalam
penyampaian informasinya kepada khalayak ramai (masyarakat) itu harus memegang
teguh nilai keadilan. Dimana dalam pemberitaan itu tidak memihak atau tunduk
pada salah satu pihak tetapi harus berimbang dan tidak merugikan salah satu
pihak (berat sebelah)
c.
Asas
Supremasi Hukum
ð
Pers
dalam menjalankan setiap kegiatannya harus berlandaskan hukum. Dimana
meletakkan Hukum sebagai landasan bertindak yang diposisikan di tingkat
tertinggi. Sehingga Pers tidak lantas begitu bebasnya bertindak meskipun telah
ada jaminan Kebebasan Pers yang diberikan oleh Undang-Undang.
d. Asas
Profesionalistas
- Tidak
memutarbalikkan fakta, tidak memfitnah
- Berimbang,
adil dan jujur
- Mengetahui
perbedaan kehidupan pribadi dan kepentingan umum
- Mengetahui
teknis penulisan yang tidak melanggar “asas praduga tak bersalah” serta
tidak merugikan korban kesusilaan
- Mengetahui
kredibilitas nara sumber
- Sopan
dan terhormat dalam mencari berita
- Tidak
melakukan plagiat
- Meneliti
semua kebenaran bahan berita terlebih dahulu
-
Tanggung
jawab moral besar ( mencabut sendiri berita yang salah walaupun tanpa ada
permintaan)
e. Asas
Nasionalisme
- Prioritas
kepentingan umum, mendahulukan kepentingan nasional
- Pers
bebas mengkritik pemerintah sepanjang hal itu untuk kepentingan nasional
- Mengabdi
untuk kepentingan bangsa dan negara
- Memperhatikan
keselamatan keamanan bangsa
- Memperhatikan
persatuan dan kesatuan bangsa
f. Asas
Demokrasi
- Pers
dapat berisi promosi tetapi pers tidak boleh menjadi alat propaganda
- Harus
cover both side
- Harus
jujur dan berimbang
g. Asas
Religius
- Alam
pemberitaannya tidak boleh melecehkan agama
- Menghormati
agama, kepercayaan, dan keyakinan agama lain
- Beriman
dan bertakwa
h. Asas
“Pars Prototo”
ð Dalam
hal ini dengan melihat sistem pemerintahan oleh Penguasa dalam suatu negara,
maka kita bisa tahu sistem Pers yang berlaku di negara tersebut.
i. Asas “Trial by Press”
ð Dalam hal ini Pers tidak mempunyai kewenangan
untuk mengadili seseorang yang dianggap telah melakukan pelanggaran ataupun
kejahatan, karena pada hakekatnya itu adalah kewenangan dari aparat penegak
hukum. Sehingga Pers tidak diperbolehkan mengintervensi para aparat penegak
hukum dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya dalam memeriksa, memutus dan
menyelesaikan suatu perkara/sengketa.
Ø Teori-teori tentang Pers
a. Teori pers otoritarian
Pers merupakan alat penguasa
untuk menyampaikan keinginanya kepada rakyat. Menurut pendapat Mc. Quail, di
dalam teori pers otoritarian disebutkan prinsip-prinsip dasar pelaksanaan
sebagai berikut :
1) Media selamanya (akhirnya) harus tunduk
kepada penguasa yang ada.
2) Penyensoran
dapat dibenarkan.
3) Kecaman
terhadap penguasa atau terhadap penyimpangan dari kebijakan resmi tidak dapat
diterima.
4) Wartawan
tidak mempunyai kebebasan di dalam organisasinya.
b. Teori pers libertarian
Menurut teori libertarian, pers merupakan sarana
penyalur hati nurani rakyat untuk mengawasi dan menentukan sikap terhadap
kebijakan pemerintah. Oleh sebab itu, pers bukanlah alat kekuasaan pemerintah,
sehingga ia harus bebas dari pengaruh dan pengawasan pemerintah.
Dengan
demikian, teori ini memandang sensor merupakan tindakan yang inkonstitusional
terhadap kemerdekaan pers. Menurut Krisna Harahap, pers libertarian mempunyai
tigas sebagai berikut:
1)
Melayani
kebutuhan kehidupan ekonomi (iklan)
2) Melayani
kebutuhan kehidupan politik
3) Mencari
keuntungan (demi kelangsungan hidupnya).
4) Menjaga hak
warga negara.
5) Memberi
hiburan.
Selanjutnya
Krisna Harahap menyebutkan ciri-ciri pers yang merdeka (libertarian) adalah:
1) Publikasi
bebas dari setiap penyensoran pendahuluan,
2) Penerbitan
dan pendistribusian terbuka bagi setiap orang tanpa memerlukan izin atau
lisensi,
3) Kecaman
terhadap pemerintah, pejabat atau partai politik tidak dapat dipidana,
4)
Tidak ada
kewajiban mempublikasikan segala hal,
5)
Publikasi
”kesalahan” dilindungi sama halnya dengan publikasi kebenaran dalam hal-hal
yang berkaitan dengan opini dan keyakinan,
6) Tidak ada
batasan hukum terhadap upaya pengumpulan informasi untuk kepentingan publikasi,
7) Wartawan
mempunyai otonomi profesional dalam organisasimereka.
c. Teori tanggung jawab sosial
Awal abad ke- 20 lahirlah
teori pers lain, yaitu teori tanggung jawab sosial (social responsibility)
sebagai protes terhadap teori libertarian yang mengfajarkan kebebasan mutlak,
yang dianggap telah menimbulkan kemerosotan moralmasyarakat.
Teori ini
mengemukakan dasar pemikiran bahwa kebebasan pers harus disertai dengan
tanggung jawab kepda masyarakat.
Prinsip
utama teori tanggung jawab sosial menurut Krisna Harahap adalah sebagai
berikut:
1) Media
mempunyai kewajiban tertentu kepada masyarakat.
2) Kewajiban
tersebut dipenuhi dengan menetapkan standar yang tinggi atau profesional
tentang keinformasian, kebenaran, obyektifitas, keseimbangan dan sebagainya.
3) Media
seyogyanya menghindari segala sesuatu yang mungkin menimbulkan kejahatan, yang
berdampak ketidaktertiban atau penghinaan terhadapminoritas etnik atau agama.
4) Media
hendaknya bersifat pluralis dan mencerminkan kebhinekaan.
5) Masyarakat
diberi kesempatan yang sama untuk mengemukakan berbagai sudut pandang dan hak
untuk menjawab.
6) Masyarakat
memiliki hak menghrapkan standar prestasi yang tinggi dan intervensidapat
dibenarkan untuk mengamankan kepentingan umum.
Komisi
Kemerdekaan Pers menyatakan bahwa pers itu harus diberi arti :
1)
Bahwa kebebasan
tersebut tidaklah berarti bebas untuk melanggar kepentingan-kepentingan
individu yang lain.
2)
Bahwa kebebasan
harus memperhatikan segi-segi keamanan negara.
3)
Bahwa
pelanggaran terhadap kemerdekaan pers membawa konsekuensi/tanggung jawab terhadap
ukuran yang berlaku.
d. Teori pers komunis
Menurut ajaran Karl Marx,
yaitu Marxisme/Komunisme mengemukakan bahwa teori pers komunis merupakan alat
pemerintah (partai yang berkuasa) dan bagian integral dari negara sehingga pers
harus tunduk kepeda pemerintah.
Pers komunis berfungsi
sebagai alat untuk melakukan ”indoktrinasi massa” sehubungan dengan itu F.
Rachmadi dalam bukunya ”Perbandingan Sistem Pers” (1990), menyatakan bahwa
dalam hubungan dengan fungsi dan peranan pers komunis sebagai alat pemerintah
dan partai, pers harus menjadi suatu collective propagandist, collective
agitation, dan collective organizer. Ciri-ciri pers komunis adalah :
1) Media
berada di bawah pengendalian kelas pekerja, karenanya ia melayani kepentingan
kelas tersebut.
2)
Media tidak
dimiliki secara pribadi.
3)
Masyarakat
berhak melakukan sensor dan tindakan hukum lainnya untuk mencegah atau
menghukum setelah terjadinya peristiwa publikasi anti masyrakat.
Ø Fungsi
Pers
Menurut Kusman Hidayat dalam tulisanya yang berjudul
”Dasar-dasar Jurnalistik/Pers” ada 4 fungsi sebagai berikut :
1) Fungsi
pendidik
2) Fungsi
penghubung
3) Fungsi
pembentuk pendapat umum
4) Fungsi
kontrol
Menurut Mochtar Lubis, di
negara-negara berkembang, pers mempunyai 5 (lima) fungsi, yaitu :
1) Fungsi
pemersatu
2) Fungsi
pendidik
3) Fungsi
”public watchdog” atau penjaga kepentingan umum
4) Fungsi
menghapuskan mitos dan mistik
5) Fungsi
sebagai forum
Menurut Undang-Undang Nomor 40/1999
adalah sebagai berikut :
1) Fungsi
informasi
2) Fungsi
pendidikan
3) Fungsi
menghibur
4) Fungsi
kontrol sosial
5) Pers
sebagai lembaga ekonomi
Ø Peranan
Pers
Di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang
Pers disebutkan bahwa pers nasional melaksanakan peran sebgai berikut :
1)
Memenuhi
hak masyarakat untuk mengetahui.
2)
Menegakkan
nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak
asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.
3)
Mengembangkan
pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar.
4)
Melakukan
pengawasan, kritik,koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum.
5)
Memperjuangkan
kebenaran dan keadilan.
Sedangkan
menurut Jacob Oetama, dalam konteks masyarakat Indonesia pers mempunyai peranan
khusus sebagai berikut :
1)
Tugas untuk
memperkuat dan mengkreatifkan konsensus-konsensus dasar nasional.
2)
Pers perlu
mengenali masalah-masalah sosial yang peka dalam masyarakatnya.
3)
Pers perlu
menggerakan prakarsa masyarakat, memperkenalkan usaha-usahanya sendiri, dan
menemukn potensi-potensi yang kreatif dalam usaha memperbaiki perikehidupannya.
4)
Pers
menyebarluaskan dan memperkuat rasa mampu masyarakat untuk mengubah nasibnya.
5)
Kekurangan,
kegagalan, serta korupsi dilaporkan bukan untuk merusak dan membangunkan
pesimin, tetapi untuk koreksi dn membangkitkn kegairahan dan selalu melangkah
maju.
Ø Perkembangan Pres di Indonesia
a.
Pers zaman penjajahan Belanda
Sarahum, dalam tulisannya yang berjudul ”Perjuangan Surat Kabar Indonesia” yang
dimuat dalam sekilas ” Perjuangan Surat Kabar”, menyatakan :” Maka untuk membatasi pengaruh momok in,
pemerintah Hindia Belanda memandang tidak cukup mengancamnya saja dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Setelah ternyata dengan KUHP itu saja tidak mempan,
maka diadakanlah pula aritkel-artikel tambahan seperti artikel 153 bis dan ter.
161 bis dan te. Dan artikel 154 KUHP. Hal itu pun belum dianggap cukup,
sehingga diadakan pula Persbreidel
Ordonantie,yamg memberikan hak kepada pemerintah penjajah Belanda untuk
menghentikan penerbitan surat kabar/ majalah Indonesia yang dinggap berbahaya”.
Tindakan lain di samping Persbreidel Ordonantie adalah Haatzai Artikelen, karena pasal-pasalnya
mengancam hukuman terhadap siapa pun yang menyebarkan perasaan permusuhan,
kebencian serta penghinaan terhadap pemerintah Nederland dan Hindia Belanda.
Akibatnya banyak korban berjatuhan, antara lain S.K. Trimurti.
b. Pers di masa pergerakan
Masa pergerakan adalah masa
bangsa Indonesia berada pada detik-detik terakhir penjajahan Belanda sampai
saat masuknya Jepang menggantikan Belanda. Pers pada masa itu tidak bisa
dipisahkan dari kebangkitan nasional bangsa Indonesia melawan penjajahan.
Setelah muncul pergerakan
modern Budi Utomo tanggal 20 Mei
1908, surat kabar lebih banyak berfungsi sebagai alat perjuangan. Pers
menyuarakan kepedihan,penderitaan, dan merupakan refleksi dari isi hati bangsa
terjajah. Pers menjadi pendorong bangsa Indonesia dalam perjuangan memperbaiki
nasib dan kedudukan bangsa.
Beberapa contoh harian yang terbit
pada masa pergerakan:
1) Harian
”Sedio Tomo” sebagai kelanjutan harian Budi Utomo yang terbit di Yogyakarta,
didirikan bulan Juni 1920.
2) Harian
”Darmo Kondo” terbit di Solo, yang dipimpin oleh Sudarya Cokrosisworo.
3) Harian ”Utusan Hindia” terbit di
Surabaya, yang dipimpin oleh HOS. Cokroaminoto.
4)
Harian ”Fadjar
Asia” terbit di Jakarta, dipimpin oleh Haji Agus Salim.
5)
Majalah minguan
”Pikiran Rakyat” terbit di Bandung, didirikan oleh Ir. Soekarno.
6) Majalah berkala ” Daulah Rakyat”
dipimpin oleh Moch. Hatta dan Sutan Syahrir.
Karena sifat dan isi pers
pergerakan antipenjajahan, pers mendapat tekanan dari pemerintah Hindia
Belanda. Pada masa
pergerakan itu berdirilah Kantor Berita
nasional Antara pada tanggal 13 Desember 1937.
c. Pers di masa penjajahan Jepang
Pada masa penjajahan Jepang,
boleh dikatakan pers nasional mengalami kemunduran besar. Pers nasional yang
pernah hidup di jaman pergerakan secara sendiri-sendiri dipaksa bergabung untuk
tujuan yang sama yaitu mendukung kepentingan Jepang.
Pers di masa pendudukan
Jepang semata-mata menjadi alat pemerintah Jepang dan bersifat pro-Jepang.
Beberapa harian yang muncul pada masa itu, antara lain :
a. Asia Raya
di Jakarta
b. Sinar Baru
di Semarang
c. Suara Asia
di Surabaya
d. Tjahya di
Bandung
d. Pers di masa revolusi fisik
Periode revolusi fisik
terjadi antara tahun 1945 sampai 1949. masa itu adalah masa bangsa Indonesia
berjuang mempertahankan kemerdekaan yang berhasil diraihnya pada tanggal 17
Agustus 1945. belanda ingin kembali menduduki Indonesia sehingga terjadilah
perang mempertahankan kemerdekaan. Pada saat itu, pers terbagi menjadi dua
golongan, yaitu :
1) Pers yang
diterbitkan dan diusahakan oleh tentara pendudukan Sekutu dan Belanda yang
selanjutnya dinamakan Pers Nica (Belanda).
2) Pers yang
diterbitkan dan diusahakan oleh orang Indonesia yang disebut Pers Republik.
Beberapa
contoh koran Republik yang muncul pada masa itu, antara lain: harian ”Merdeka”,
”Sumber”, ”Pemandangan”, ”Kedaulatan Rakyat”, ”Nasional”, dan ”Pedoman”.
Jawatan Penerangan Belanda menerbitkan Pers Nica, antara lain: ”Warta
Indonesia” di Jakarta, ”Persatuan” di Bandung, ”Suluh Rakyat” di Semarang, ”Pelita
Rakyat” di Surabaya, dan ”Mustika” di Medan. Pada masa revolusi fisik inilah
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Serikat Pengusaha Surat Kabara (SPS)
lahir. Kedua organisasi ini mempunyai kedudukan penting dalam sejarah pers
Indonesia.
e. Pers di era demokrasi liberal (1949-1959)
Di era demokrasi liberal,
landasan kemerdekaan pers adalah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS
1949) dan Undang-Undang Dasar Sementara (1950). Dalam Konstitusi RIS-yang
isinya banyak diambil dari Piagam Pernyataan Hak Asasi Manusia sedunia (Universal Declaration of Human Rights)-pada
pasal 19 disebutkan ”Setiap orangberhak
atas kebebasan yang mempunyai dan mengeluarkan pendapat”. Isi pasal ini
kemudian dicantumkan kembali dalam Undang-Undang Dasar Sementara (1950).
Pers di zaman liberal
(1950-1959) sesuai dengan struktur politik yang berlaku pada waktu itu, lebih
banyak menimbulkan akibat negatif daripada positif. Selama periode tahun
1952-1959 menurut catatan Edward C. Smith,
terjadi tindakan antipers sebanyak 374 kali, dan yang terbanyak selama tahun
1957, yaitu mencapai angka 125 kali.
f. Pers di zaman Orde Lama atau Pers Terpimpin
(1956-1966)
Lebih kurang 10 hari setelah
Dekrit Presiden RI yang menyatakan kembali ke UUD 1945, tindakan tekanan
terhadap pers terus berlangsung, yaitu pembredelan terhadap kantor berita PIA dan Surat Kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po yang dilakukan
oleh penguasa perang Jakarta.
Upaya untuk membatasi
kebebasan pers itu tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan Maladi katika menyambut HUT Proklamasi
Kemerdekaan RI ke-14, antara lain ia menyatakan: ”...Hak kebebasan individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh
bangsa dalam malaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berpikir, menyatakan pendapat,
dan memperoleh penghasilan sebagaimana yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945
harus ada Batasnya: keamanan negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian
Indonesia, serta tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
g.
Pers di era demokrasi Pancasila dan
Orde Baru
Memasuki era Orde Baru, pers
menyambutnya dengan penuh suka cita, karena pemerintah memberi kebebasan penuh
kepada pers setelah mengalami masa traumatik selama tujuh tahun di zaman Orde
Lama. Apalagi pemberitaan menyoroti kebobrokan Orde Lama.
Peristiwa
Malari tahun 1974 menyebabkan beberapa surat kabar dilarang terbit tujuh surat
kabar terkemuka di Jakarta (termasuk Kompas) diberangus untuk beberapa waktu
dan baru diijinkan terbit kembali setelah pemimpin redaksinya menandatangani
surat pernyataan maaf.
Pers pasca-Malari merupakan
pers yang cenderung mewakili kepentingan penguasa, pemerintah, atau negara.
Pada saat itui, pers jarang, tidak pernah melakukan kontrol sosial secara
kritis, tegas dan berani.
h. Kebebasan pers di Era Reformasi
Pada tanggal 21 Mei 1998
Orde Baru tumbang dan mulailah Era Reformasi. Tuntutan reformasi bergema di
semua sektor kehidupan, termasuk sektor kehidupan pers. Selama rezim Orde Lama
dan ditambah dengan 32 tahun di bawah rezim Orde Baru, Pers Indonesia tidak
berdaya karena senantiasa ada di bawah bayang-bayang ancaman pencabutan surat
izin terbit.
Kalangan
pers mulai bernafas lega ketika di Era Reformasi pemerintah mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Kendati belum sepenuhnya memenuhi keinginan
kalangan pers, kelahiran undang-undang pers tersebut disambut gembira karena
tercatat beberapa kemajuan penting dibanding dengan undang-undang sebelumnya,
yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP).
0 Komentar